Selasa, 19 Maret 2013


Daud Tony , Dukun Santet Yang Kalah Oleh Pendeta


Nama saya Daud Tony, di antara lima bersaudara, laki semua, saya adalah anak nomor dua yang memiliki kelahiran Sabtu Pahing. Sabtu Pahing itu adalah weton Jawa, weton paling tinggi dan keramat. Karena itulah saya dipilih oleh kakek dan nenek saya untuk mewarisi ilmu mereka. Kebetulan saya waktu itu sakit juga, kejadiannya karena dianiaya oleh guru SD saya. Sama kakek, saya disembuhkan tapi dengan syarat saya harus jadi muridnya. Menjadi anak angkatnya dia langsung untuk menjadi pewaris ilmu terakhir. Karena kakek nenek buyut saya mengalami susah mati kalau ilmunya belum diturunkan.
Untuk mengalahkan rasa takut saya, saya ditunjukkan ilmunya dia, yaitu ilmu menghilang dan ilmu pindah tempat. Waktu saya lihat itu, saya kagum, “Wah, hebat juga nih. Kalau punya ilmu kaya gini, enak juga nih.” Akhirnya saya tertarik.
Untuk belajar ilmu itu saya harus lewati ujian, saya harus lewat kuburan dulu. Tempat gelap yang tidak ada unsur cahaya. Yang diajar mentalnya dulu, dia (kakek saya) hanya melihat dari jauh. Waktu saya disuruh melakukan itu, walau saya masih umur 9 tahun, saya ngga takut. Jadi waktu saya belajar ilmu itu, lihat setan sudah biasa. Karena temannya setan.
Untuk belajar ilmu itu saya harus melakukan berbagai ritual. Ritualnya itu ada yang tujuh hari tidak makan dan tidak minum, yang susah itu di hari pertama dan kedua. Tapi kalau hari pertama dan kedua sudah jadi, hari ketiga dan selanjutnya itu sudah gampang.
Pertama yang saya belajar itu aji tapak banyu, jadi ini ilmu mengambang di atas air. Tahap dasar ilmu ini adalah menyatu dengan alam, untuk bisa mempelajari ilmu selanjutnya harus bisa mempelajari ilmu yang pertama ini dulu.
Ada saat-saat tertentu saya dibawa keperbukitan, dan kegunung itu sudah pasti. Tujuh hari harus puasa mutih, dan kalau makan tidak boleh pakai tangan.
Tidak hanya dari kakek, saya juga belajar ilmu hitam dari nenek, yaitu membunuh dari jarak jauh. Ada ritual darah, yaitu dengan mengorbankan binatang. Waktu itu saya diberitahu, kalau tidak ingin melukai diri sendiri harus membunuh orang. Tapi saya tidak mau, jadi lebih baik saya melukai diri sendiri. Darah saya curahkan, dan darah itu dipersembahkan juga.
Untuk melengkapi itu dipasang susuk untuk kebal senjata. Waktu itu saya masih ingat, jarum emas sama tembaga.
Nenek saya bilang, “Kamu harus makan.”
“Gimana cara makannya nek?”
“Kamu yakin saja..”
Sejak kecilkan saya punya sugesti, saya yakin guru saya tidak akan mencelakakan saya. Waktu saya makan, tenggorokan saya sampai dada saya terasa sakit sekali. Dan tiba-tiba, jarum itu seperti berjalan mengikuti gerakan jari telunjuk guru saya.
Karena ilmu santet saya, banyak orang yang datang minta bantuan saya. Terutama pejabat, untuk mengerjai pejabat yang lain. Tapi saya punya batas, tidak membunuh. Saya hanya membuat orang setengah mati saja, hidup tidak matipun tidak.
Waktu itu saya mempelajari ilmu terakhir, Pemengkang Jagat. Kalau saya pukul orang dalam jarak 50 meter, orang itu langsung mati. Itu ilmu santet tingkat tinggi. Ilmu itu punya pantangan tidak boleh menikah, tidak boleh menyentuh wanita, itulah yang paling berat. Ritualnya pun yang paling berat dari semua yang pernah saya jalani. Untuk mengusai ilmu itu butuh waktu beberapa bulan.
Tujuan saya belajar semua ilmu tersebut waktu itu cuma ingin jadi orang nomor satu saja, saya ingin jadi orang yang tanpa tanding. Tapi ketika guru saya meninggal dunia, saya mulai kehilangan arah. Saya ingin mencoba kesaktian saya, tapi saya tidak mau dengan orang biasa. Jadi mulai saat itu saya mulai pergi ke dukun-dukun untuk bertarung dengan mereka. Waktu itu diberbagai tempat di tanah Jawa ini saya kunjungi dan saya kalahkan dukun-dukun itu. Jika ditanya rasa takut, tentu itu ada. Pertama takut ada orang yang tahu kelemahan saya, yang kedua takut kutukan yang akan datang.
Hingga suatu hari saya dibujuk oleh saudara saya untuk mengikuti KKR. Yang berkotbah di KKR itu adalah Pendeta Gilbert. Dia berkata kalau orang Kristen tidak bisa disantet, tidak bisa dimantra-mantrai dan tidak bisa diguna-gunai. Jadi saya coba, saya santet saat itu juga, tapi tidak mempan. Tiba-tiba Pendeta Gilbert ngomong, “Bagi saudara-saudara yang memiliki jimat-jimat atau dukun sekalipun, maju ke depan. Kami undang untuk ke altar call.”
Saya bingung, altar call itu apa? Tak kira tempat adu ilmu. Ngga tahunya malah di doain. Tujuan saya itu untuk bertarung, bukan untuk di doain. Disitu saya tantang Gilbert bertarung.
“Saya tantang kamu bertarung..!”
”Besok pagi silahkan Anda datang kemari..”
Saya langsung pulang, dan malam hari itu saya susah tidur. Besok paginya saya datang jam delapan pagi, disana pendeta-pendeta sudah nungguin saya. Saya bertarung dengan Pendeta Gilbert bukan jarak jauh, jarak dekat satu meter, muka dengan muka. Seperti mukul langsung, bukan alam roh lagi.
Saya pukul, mental balik ke saya. Benteng pertahanan saya hancur, sampai keluar serbuk tembaga dan emas dari mulut saya. Bahkan waktu itu saya muntah darah, tapi Gilbert hanya bilang, “Halleluya.. Halleluya.. Halleluya..” sama bahasa roh gitu. Saya juga bingung, itu bahasa apa. Setiap saya pukul, mental..
Waktu itu, menjelang jam dua belas siang saya bilang sama dia, “Ini ilmu terakhir saya. Kalau saya kalah, saya berguru sama kamu. Kalau saya menang, kamu mati.”
Gilbert ngomong, “Silahkan.” Saya langsung rapal ilmu Mamengkang Jagat. Sekali pukul, batu berjarak 50 meter hancur. Saya konsentrasi baca mantranya, lalu saya buka mata. Saya lihat dari tubuh Pendeta Gilbert keluar cahaya terang. Disitu saya grogi, mau maju atau tidak. Lalu saya ingat pesan guru saya, “Nanti di usia delapan belas tahun, kamu akan melihat suatu cahaya terang. Inilah yang disebut Nur Cahyo.” Tapi saya ambil keputusan untuk maju, saya pukul tapi cahaya itu membuat saya terpental kira-kira 10 sampai 12 meter. Saya kalah, hilang ingatan selama setahun.
Waktu saya kalah itu, semuanya gelap. Tepat satu tahun, waktu itu tahun 1993 ada cahaya datang dan langsung  masuk kepala saya. Saya sembuh seketika itu juga. Ada sebuah damai yang luar biasa di hati saya. Kemudian terdengar suara, “Akulah Alpha dan Omega, yang awal dan yang akhir. Raja yang adil dari timur. Aku adalah Aku, Akulah Yahwe. Lalu tiba-tiba cahaya itu berubah menjadi Yesus Kristus. Saya ngga bisa lihat wajahnya, hanya jubahnya dan suaranya yang berkata, “Akulah Yesus.” Disitulah saya bertobat.
Setelah saya sembuh, kebetulah Pendeta Gilbert ada di Solo, maka saya cari dia. Begitu bertemu, saya cerita tentang bertemu cahaya ini. Dia ceritakan tentang Yesus, dan memberitahu saya untuk sekolah Alkitab. Kemudian saya sekolah Alkitab selama tiga tahun, lulus dan melayani Tuhan sampai sekarang.
Dulu waktu belum bertobat, hidup saya tidak bisa tenang dan tidak pernah damai. Tapi setelah bertobat, hidup saya damai dan tahu tujuan hidup saya untuk apa. Setelah saya bertobat, saya tahu ada panggilan untuk saya melayani sehingga saya bisa menjadi berkat untuk banyak orang. Supaya banyak orang tidak tersesat seperti saya dulu sebelum bertobat. (Kisah ini ditayangkan 26 Januari 2011 dalam acara Solusi Life di O'Channel).
Sumber Kesaksian:
Daud Tony

Tidak ada komentar:

Posting Komentar